Perhatikan Pertambangan Rakyat, Perubahan Undang-undang Minerba Harus Dibarengi Oleh Kearifan Lokal


JAKARTA– Tak bisa dipungkiri kalau sektor pertambangan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian Bangsa Indonesia. Dalam hal penambangan, terdapat beberapa kategori, salah satunya penambangan rakyat. Aktivitas menambang dalam kategori tambang rakyat, untuk karakter serta proses perizinan sangat berbeda dengan kategori usaha pertambangan oleh perusahaan.
Kondisi ini yang menjadi polemik dalam sektor pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), mengingat tak jarang terjadi konflik pada kategori tambang rakyat. Banyak daerah penghasil minerba yang terjadi kasus pidana dan perdata, hal itu karena belum jelasnya regulasi tentang izin penambangan rakyat sehingga banyak terjadi penangkapan-penangkapan kepada
tambang rakyat yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Contoh kasus yang belum lama ini terjadi pada tanggal 04 Maret 2020,
Satpol-PP Kabupaten Bangka Barat menindak penambang pada tambang timah inkonvensional (TI) karena melakukan aktivitas di dekat pemukiman warga yang membahayakan karena berpotensi menyebabkan longsor. Kemudian pada November 2019 lalu, pecah Tragedi Sijuk Kabupaten Belitung.
Tragedi ini bermula ketika penyerangan yang dilakukan penambang liar terhadap rombongan Wakil Gubernur Bangka Belitung (Babel) saat melakukan penertiban aktivitas tambang di Sijuk. Dalam insiden tersebut, penambang yang ditertibkan justru menyerang dan melakukan perusakan terhadap mobil dinas wakil gubernur dan 20 anggota Satpol PP Babel yang tengah bertugas.
Polemik yang berkepanjangan membuat pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya memperbaiki tata kelola pertambangan rakyat. Hal ini demi mengurangi risiko kemunculan pertambangan rakyat yang dilakukan secara ilegal sehingga merugikan banyak pihak.
Ditjen Minerba Kementerian ESDM memperbarui tata kelola pertambangan rakyat dalam Undang Undang No 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan kedua atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Salah satu hal yang berbeda adalah jenis komoditas yang bisa ditambang oleh rakyat. Jika di UU No 4/2009 rakyat bisa menambang mineral logam dan batubara, maka di UU Minerba terbaru pertambangan rakyat hanya bisa dilakukan pada komoditas mineral logam saja.
Selain itu, pemerintah juga memperluas cakupan wilayah pertambangan rakyat. Dalam UU No 3/2020, kegiatan pertambangan rakyat bisa dilakukan di wilayah seluas maksimal 100 hektar (Ha) dan paling dalam 100 Ha. Dahulu, saat UU No 4/2009 masih berlaku, rakyat hanya bisa menambang di wilayah seluas dan sedalam maksimal 25 Ha.
Kementerian ESDM juga membagi dua kategori luas wilayah untuk setiap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di UU No. 3/2020. IPR dapat dikeluarkan untuk orang perseorangan paling luas 5 Ha, sedangkan IPR untuk koperasi diberikan dengan wilayah paling luas 10 Ha.
Adapun pada UU Minerba yang lama, IPR dapat diberikan kepada orang perseorangan paling luas 1 Ha, kelompok masyarakat paling luas 5 Ha, dan koperasi paling luas 10 Ha.
Kendati demikian, perubahan UU tersebut seharusnya dibarengi oleh adanya hukum kearifan lokal. Kearifan lokal dimaksud merupakan kekuatan-kekuatan sosial yang lahir, tumbuh dan berkembang menjadi pranata hukum masyarakat setempat. Nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dapat dijadikan isi hukum biasanya berupa kearifan-kearifan lokal masyarakat setempat.
CR Yudi Kurniawan