UUD Pasal 33 dan Kekuatan Posisi Penambang Rakyat


JAKARTA – Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, khususnya dibidang pertambangan. Sektor pertambangan emas memberikan kontribusi perekonomian negara yang signifikan sehingga menjadi salah satu penyumbang utama dari PNPB. Salah satu pengembangan tambang emas yaitu di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur yang memiliki luas sekitar 11.621,45 Ha. Kegiatan pertambangan emas ini pun dapat meningkatkan perekonomian daerah khususnya bagi masyarakat sekitar kawasan pertambangan. Tentunya hal ini tak lepas dari peran penambang rakyat yang berada di sekitar.
Sayangnya peran penambang rakyat belum memiliki posisi yang kuat, sesuai dengan semangat dari jiwa UUD pasal 33. Salah satu efek dari hal tersebut adalah munculnya dampak negatif yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan emas dan dirasakan oleh masyarakat sekitar maupun para kerja tambang itu sendiri. Pertama permasalahan prosedur keamanan, khususnya di perusahaan induk tambang sudah cukup baik, namun hal itu tidak diterapkan sepenuhnya pada penambang rakyat, perusahaan kecil atau kontraktor-kontraktor perusahaan induk. Kedua, bahaya pekerja bawah tambang bawah tanah yang minim mendapatkan cahaya, ruang gerak terbatas, bebatuan yang rapuh, dan gas berbahaya. Ketiga, adanya perubahan kualitas lingkungan yang dirasakan oleh warga sekitar.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 54 responden menjawab bahwa bahaya fisika, bahaya ergonomis dan bahaya psikologi (100%) terdapat di area penambangan. Juga 54 responden menjawab bahwa resiko yang sangat sering terjadi di area penambangan adalah mata terkena debu, masalah pernapasan, dan terkena atau terpapar panas. Potensi bahaya fisik tingginya kadar debu dan sering menganggu pandangan saat responden bekerja dengan itu perlunya upaya meminimalisir potensi-potensi yang dapat menimbulkan kecelakaan saat bekerja seperti pemberian APD seperti masker dan kaca mata.
Solusi dari permasalahan di atas antara lain yaitu memperkuat posisi penambang rakyat melalui UU terkait ketegasan kriteria penambangan yang sesuai dengan UUD pasal 33, setelah mendapatkan kekuatan posisi maka perusahaan penambang rakyat tentu memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan sosial yang jelas kepada pekerja yang terkena musibah, dijelaskan HCGS Department Head Pama BRCB, Stanley Wilson Yohanes, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan jika terjadi laka kerja, perusahaan hanya berkewajiban memastikan jaminan sosial pekerja diberikan. Sedangkan untuk santunan kepada pihak keluarga, merupakan bentuk kepedulian setiap perusahaan terhadap karyawannya yang terkena musibah, untuk itu setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Penegakkan SOP perlindungan diri pekerja juga sudah selayaknya dijadikan sebuah peraturan yang tegas dan terikat hukum agar semua perusahaan tambang, baik itu lokal maupun multinasional wajib mempertimbangkan prosedur keamanan kerja bagi penambangnya. Agar tidak ada lagi yang mengabaikan potensi sekecil apapun yang dapat membahayakan nyawa para penambang. Solusi terakhir untuk isu lingkungan adalah mengupayakan dengan segera pemulihan kembali lingkungan alam yang terpakai aktivitas pertambangan dan juga menciptakan peluang usaha bagi masyarakat setempat melalui penciptaan berbagai usaha ramah lingkungan (green business) yang terintegrasi yang terkait dengan pengembangan pariwisata daerah sekitar petambangan. (CR/Annisa Fadhilah Hananti)